AI Sora 2 dari OpenAI kembali mengguncang dunia teknologi. Sejak diluncurkan, aplikasi video berbasis kecerdasan buatan ini langsung mencuri perhatian publik. Kemampuannya menciptakan video realistis dalam waktu singkat membuat banyak orang kagum, namun di sisi lain, menimbulkan perdebatan serius mengenai pelanggaran hak cipta dan potensi penyalahgunaan teknologi AI.
Berbagai video buatan pengguna AI Sora 2 menampilkan karakter populer dari waralaba besar seperti SpongeBob SquarePants, Pokémon, hingga The Simpsons tanpa izin resmi. Beberapa bahkan meniru adegan film dan acara televisi terkenal dengan kualitas visual yang menyerupai karya aslinya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan industri kreatif, karena penggunaan karakter berhak cipta tanpa izin dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Selain masalah hak cipta, kemampuan AI Sora 2 yang dapat menghasilkan video hampir tak bisa dibedakan dari kenyataan menimbulkan kekhawatiran lain. Kekhawatiran itu adalah penyebaran hoaks dan manipulasi informasi. Teknologi ini memungkinkan siapa pun membuat video palsu yang menampilkan figur publik berbicara atau melakukan sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan. Risiko seperti ini bisa merusak reputasi seseorang dan bahkan memicu konflik sosial.
Beberapa pakar keamanan digital menilai, jika tidak dikontrol dengan baik, Sora 2 bisa menjadi alat berbahaya di tangan pihak yang tidak bertanggung jawab. Kemudahan dalam membuat video palsu membuka peluang bagi penipuan daring, propaganda politik. Hingga pencemaran nama baik yang sulit dibedakan dari kebenaran.
Salah satu reaksi paling keras datang dari Motion Picture Association (MPA), organisasi yang menaungi studio besar. Seperti Disney, Netflix, Warner Bros, Discovery, dan Universal. Ketua sekaligus CEO MPA, Charles Rivkin, menegaskan bahwa penyebaran video pelanggaran hak cipta di platform OpenAI menunjukkan lemahnya sistem pengawasan terhadap konten buatan pengguna.
Menurut Rivkin, banyak video yang meniru film dan karakter milik anggota MPA tersebar luas tanpa izin. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa teknologi generatif seperti Sora 2 bisa disalahgunakan dengan mudah. Ia menekankan bahwa mencegah pelanggaran hak cipta bukan tanggung jawab pemegang hak cipta semata, tetapi juga kewajiban utama penyedia teknologi seperti OpenAI.
“OpenAI harus bertanggung jawab atas konten yang diproduksi melalui platformnya. Hukum hak cipta ada untuk melindungi para kreator, bukan untuk dilewati atas nama inovasi,” ujar Rivkin.
Industri film menilai perkembangan teknologi generatif memang membawa kemajuan besar, namun tanpa sistem perlindungan yang kuat, hal itu dapat mengancam ekosistem ekonomi kreatif global. MPA juga mengingatkan bahwa kolaborasi antara pengembang AI dan industri hiburan sangat penting agar inovasi tidak bertentangan dengan etika dan hukum.
BACA JUGA: Era AI: Belajar dan Adaptif Agar Selalu Relevan
Menanggapi kritik tajam yang muncul, OpenAI akhirnya merilis pernyataan resmi. CEO Sam Altman mengumumkan dua kebijakan baru yang menjadi langkah awal perusahaan dalam merespons masalah ini.
Pertama, OpenAI akan memberikan kendali lebih besar kepada pemegang hak cipta untuk menentukan bagaimana karakter mereka digunakan di Sora 2. Sistem baru ini dikatakan akan mirip dengan model opt-in, di mana pemilik hak cipta dapat memilih apakah karyanya boleh digunakan, dibatasi, atau tidak sama sekali.
Kedua, OpenAI berencana berbagi pendapatan dengan pemegang hak cipta yang mengizinkan karakter mereka digunakan dalam video buatan AI. Altman menyebut langkah ini sebagai upaya menciptakan hubungan yang saling menguntungkan antara pengembang teknologi dan kreator konten.
“Kami akan mencoba berbagi sebagian pendapatan dari pembuatan video dengan pemegang hak cipta yang mengizinkan karakter mereka digunakan oleh pengguna. Model ini akan terus kami evaluasi agar tetap adil dan transparan,” jelas Altman dalam blog resminya.
Ia juga menegaskan bahwa perusahaan terus belajar dari pengalaman ini, sebagaimana yang terjadi pada masa awal pengembangan ChatGPT. Menurutnya, perubahan cepat dalam teknologi seperti AI Sora 2 menuntut adaptasi dan perbaikan berkelanjutan. Agar kebijakan perusahaan tetap selaras dengan kebutuhan pengguna dan industri.
Kasus AI Sora 2 menjadi refleksi nyata dari dilema besar dalam dunia kecerdasan buatan: bagaimana menyeimbangkan antara inovasi dan tanggung jawab. Di satu sisi, teknologi ini membuka peluang baru bagi kreativitas tanpa batas. Namun di sisi lain, tanpa regulasi yang jelas, AI dapat menjadi ancaman bagi hak cipta, privasi, bahkan integritas sosial.
Industri teknologi kini dihadapkan pada tantangan besar untuk memastikan bahwa kecerdasan buatan digunakan secara etis dan aman. Kolaborasi lintas sektor, antara pengembang AI, industri kreatif, dan lembaga hukum. Menjadi kunci utama untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat dan berkelanjutan.
IPTEC Digital Solution mendukung pengembangan teknologi cerdas yang etis dan aman melalui berbagai layanan inovatif. Termasuk Jasa Virtual Reality Jakarta dan Jasa Augmented Reality Jakarta. Mari wujudkan masa depan teknologi yang kreatif, aman, dan bertanggung jawab bersama IPTEC Digital Solution.